Wikipedia |
Selang beberapa menit, ketan mengerak. Giliran sebutir telur bebek dia pecah-campurkan hingga merata. Serundeng, irisan cabai rawit, kencur, jahe, merica bubuk, ebi, garam, dan gula pasir menyusul kemudian. Tangan kanannya juga tak kalah cekatan memainkan kipas bambu bertangkai untuk menjaga api di anglo agar menyala sempurna.
Jamal merupakan satu dari sekian banyak pedagang kerak telor yang masih bertahan di kawasan Monumen Nasional (Monas). Pria asli Betawi itu mengaku, setiap hari berjualan di objek wisata yang menjadi icon Jakarta itu. "(Saya) datangnya sore. Rumah saya di Buncit, Jakarta Selatan," aku Jamal kepada Okezone, beberapa waktu lalu.
Dia memilih untuk berjualan pada sore hingga malam hari, lantaran rupiah yang didapat lebih banyak dibandingkan berdagang di siang hari. Jamal baru pulang setelah malam merangkak menuju dini hari. “Kalau siang sudah banyak yang jualan, jadi sepi (pengunjung)," ungkapnya.
Bapak tiga anak itu juga mengaku terkadang berjualan di wilayah lain. Namun, itu dilakukan saat momen-momen tertentu. Seperti saat hajat tahunan Pekan Raya Jakarta (PRJ) menjelang HUT Batavia. “Mungkin tahun ini saya juga buka lapak di sana," katanya.
Mengapa kerak telor? Jamal mengaku hanya meracik kuliner itulah keahliannya. Dari berjualan kerak telor Jamal bisa mengantongi uang Rp150 sampai Rp200 ribu setiap malam. Satu porsinya dia banderol seharga Rp15 ribu.
Tak banyak referensi yang memaparkan secara jelas asal-usul makanan ini. Meskipun telah berjualan Kerak Telor sejak 1990-an, Jamal juga tidak mengetahui dengan pasti asal-usul kudapan ini. Dia mengaku memiliki keterampilan meracik kerak telor dari keluarganya. "Dulu waktu kecil kan lihat orang-orang itu, akhirnya belajar sampai sekarang ini buat cari makan," tandasnya.
Mengenai asal-usul kerak telor memang masih simpang siur. Informasi yang berkembang di masyarakat, makanan ini dilahirkan sekumpulan masyarakat Betawi Menteng yang hendak meracik sebuah makanan yang berbahan ketan, kelapa parut dan bumbu dapur lainnya.
Aksi iseng ini ternyata mendapat respons positif dari masyarakat. Pada tahun 1970-an sekumpulan masyarakat Betawi lantas mencoba peruntungan dengan berjualan resep uniknya itu di kawasan Monas dan ternyata laku keras, bahkan makanan ini seperti menjadi makanan khas Betawi.
Menurut pakar Budaya Betawi, Indra Sutrisna, makanan kerak telor sudah ada semenjak masa penjajahan Belanda di Indonesia. Dulunya makanan ini lebih sering dikonsumsi orang-orang Belanda. "Kerak telor Betawi itu sudah ada sejak zaman Belanda," kata Indra.
Orang-orang Belanda menjadikan kerak telor sebagai makanan pembuka. Orang-orang Belanda, kala itu menginginkan sebuah makanan yang mirip dengan omelet mie, yang dikombinasikan dengan racikan masakan ala Betawi.
Masyarakat Betawi mengusung nilai kesehatan pada kerak telor racikannya. Alhasil, mie diganti dengan beras ketan, serta penambahan bahan rempah-rempah di dalamnya.
Namun seiring perkembangan zaman, kerak telor kini telah menjadi hidangan yang merakyat yang bisa dinikmati oleh siapa saja.
Perkembangan lain, menurut Indra, adalah keanekaragaman rasa dari kerak telor itu sendiri. Saat ini para pedagang kerak telor menyediakan makanan tersebut dengan rasa yang bermacam-macam.
"Banyak kreasi yang dilakukan. Dulu, kerak telor Betawi tidak ada rasa pedas, juga enggak menggunakan abon. Kalau ditanya khasnya kerak telor Betawi itu hanya telur, ebi, serundeng, dan bawang goreng saja," paparnya.
Wikipedia |
Pengaruh budaya kuliner dari negara-negara tersebut dibawa oleh para pedagang yang terkadang juga berperan sebagai juru masak handal. Biasanya, mereka memperkenalkan berbagai masakan asli negaranya yang diolah dengan bahan-bahan, semisal rempah-rempah, yang berasal dari Indonesia.
Terlepas sejarah atau asal-usul mana yang benar mengenai kerak telor, yang wajib dilakukan saat ini adalah terus melestarikan kerak telor sebagai salah satu produk budaya masyarakat Betawi di tengah-tengah menjamurnya sajian makanan ala barat di Indonesia.
[OkeZone]